Minggu, 30 Oktober 2016

TOPIK 7: ANALISIS DAN PENJELASAN LOGIKA KONSTRUKSI DAN ATAU STRUKTUR PONDASI BANGUNAN VERNAKULAR LAHAN BASAH


Pengertian Logika.
“Logika” berasal dari kata Yunani “logos” yang berarti ucapan, kata, akal budi, dan ilmu. Sedangkan ditinjau dari makna esensialnya, maka logika adalah 'cabang dari filsafat ilmu pengetahuan dan logika juga merupakan bagian yang sangat mendasar dalam kerangka berfikir filsafat'.
Menurut W. Poespoprodjo, Ek. T. Gilarso. (2006: 13) Logika adalah ilmu dan kecakapan menalar, berpikir dengan tepat.

Pengertian Struktur dan Konstruksi
Konstruksi adalah susunan dan hubungan bahan bangunan sedemikian rupa sehingga penyusunan tersebut menjadi satu kesatuan yang dapat menahan beban dan menjadi kuat.
Struktur  adalah susunan atau pengaturan bagian-bagian gedung yang menerima beban atau konstruksi utama dari gedung tanpa memperhatikan apakah konstruksi tersebut terlihat atau tidak/tersembunyi. (Buku Ajar mata kuliah Struktur Konstruksi Bangunan 2)

Pengertian Pondasi
Pondasi adalah bagian dari bangunan yang berfungsi mendukung seluruh berat bangunan dan meneruskannya ke tanah. Kekuatan dan kekokohan suatu konstruksi bangunan gedung sangat tergantung dari konstruksi pondasi. (Buku Ajar mata kuliah Struktur Konstruksi Bangunan 2)

Demikian logika struktur pondasi ialah kemampuan menalar bagaimana cara agar konstruksi pondasi dapat mendukung bangunan berdiri kokoh dan stabil yang mana hal ini dikaitkan dengan lingkungan lahan basah khususnya di Teluk Selong, Martapura.

Lahan Basah
Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan) seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah seperti  buaya, kura-kura,  biawak, ular, aneka jenis kodok, dan berbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis  burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah.
Secara umum yang dimaksud lahan basah adalah daerah-daerah rawa, lahan gambut, dan perairan sementara dengan air yang tergenang atau mengalir , tawar, payau atau asin, termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut,
Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung, seperti sumber air minum dan habitat beraneka ragam mahluk hidup, tapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir, pencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran, dan pengendali iklim global.









Hunian di Tepian Sungai


Wujud peran sungai sudah terbentuk sejak lama melalui pertumbuhan hunian di sepanjang tepian sungai di Teluk Selong, berupa rumah panggung, rumah Bubungan Tinggi, jamban sehingga keberadaan dan tipologi hunian ditepian sungai di Teluk Selong menjadi citranya. Kondisi lingkungan tepian sungai mempengaruhi bentuk bangunan, struktur konstruksi dan penggunaan bahan bangunan pada desain hunian tepian sungai Teluk Selong di Martapura. Secara ekologi, hunian di tepian sungai di Teluk Selong mampu beradaptasi dan bertahan hingga saat ini terhadap kondisi alam seperti luapan/pasang surut air sungai.
Aplikasi sistem struktur bangunan tiang yang menggunakan bahan bangunan lokal seperti kayu ulin dan kayu galam, serta jamban yang menggunakan bambu sebagai pondasi apung telah menunjukkan adaptasi alami sejauh ini sehingga penggunaan bahan bangunan lokal dengan sistem struktur tersebut tetap selaras digunakan dalam penataan lingkungan binaan khususnya di tepian sungai baik untuk  situasi masa kini dan rekomendasi untuk masa mendatang sebagai bentuk perwujudan fisik yang kontekstual dengan pendekatan desain yang ekologis.
Lingkungan binaan pada umumnya tumbuh melalui proses adaptasi dan menghasilkan pola serta wujud fisik yang spesifik di lingkungan tepi sungai. Kebanyakan area terbangun mengambil bentuk arsitektur vernakular yang menunjukkan tiga tanggapan (respon) mendasar, yaitu
1.    respon terhadap tempat atau lingkungan setempat,
2.    respon terhadap masyarakat, dan
3.    respon terhadap sungai sebagai jalur pergerakan.
Penggunaan konstruksi kayu sangat umum bagi permukiman tradisional. Kayu termasuk dalam klasifikasi bahan bangunan ringan dan tersedia secara melimpah di sekitar permukiman. Penggunaan kayu yang ringan dan tersedia melimpah di daerah tersebut dapat memudahkan masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungannya. Jenis kayu tertentu yang terdapat di Kalimantan Selatan memiliki ketahanan yang sangat baik jika terendam dalam air.


Kayu Galam
  
Kayu Ulin

Kendala tapak berupa daya dukung tanah yang rendah dan dipengaruhi oleh air dapat diantisipasi dengan baik oleh masyarakat setempat. Permukiman lama mereka memiliki struktur bangunan dan bahan bangunan yang dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Pondasi bagi permukiman di daerah lahan basah, tepian sungai dan rawa dikenal sebagai pondasi terapung atau raft foundation. Pondasi terapung telah dikenal dengan baik oleh masyarakat yang tinggal di lahan basah daerah perkotaan dan perdesaan termasuk di
Banjarmasin. Rumah panggung yang ada di Teluk Selong menggunakan  kayu ulin sebagai tiang penyangga. Kayu ini sangat tahan terhadap genangan air, beceknya tanah rawa dan rayap sehingga bisa bertahan puluhan bahkan ratusan tahun.
Pondasi di lahan basah pada zaman sekarang banyak menggunakan variasi material dari Kayu Ulin dan Kayu Galam. Kayu Galam digunakan sebagai pancangnya (cerucuk), dan kayu ulin digunakan untuk telapak dan tiang. Penggunaan kedua jenis kayu ini dikarenakan kayu-kayu jenis ini semakin lama bersentuhan dengan air semakin kuat.

Proses konstruksi pondasi pada Rumah Bubungan Tinggi
1.    Proses konstruksi pondasi diawali dengan menempatkan balok kayu pada posisi. Balok kayu diletakkan pada kedalaman tertentu.

2.    Di atas balok kayu didirikan tiang yang diperkuat dengan balok penumpu (sunduk dan kalang).

3.    Setelah tiang untuk ruang hunian berdiri dengan stabil, proses konstruksi kelompok ruang selanjutnya dilaksanakan dengan metode yang sama.

4.    Setelah tiang dan balok untuk ruang tamu berdiri stabil, proses konstruksi kelompok ruang dapur dilaksanakan dengan metode yang sama.

5.    Proses konstruksi dilanjutkan untuk bagian anjung dengan metode yang sama.

6.    Pasangan pondasi dilanjutkan untuk bagian pelataran dalam.

7.    Pasangan pondasi dilanjutkan untuk bagian pelataran luar.

8.    Pemasangan pondasi tongkat di bagian ruang tamu.

9.    Pemasangan pondasi tongkat di bagian ruang dapur.

10. Pemasangan pondasi tongkat di bagian ruang anjung.
Kesimpulan

Penggunaan struktur konstruksi panggung dengan menggunakan bahan bangunan lokal dapat menciptakan keseimbangan ekologi ditepian sungai karena adanya hubungan timbal balik antara manusia, alam, dan hunian/arsitektur. Perubahan wujud fisik hunian/permukiman dari bahan bangunan alam ke material beton akan berdampak pada perubahan visual arsitektur tepian sungai Teluk Selong di Martapura. Di sisi lain, pemerintah harus berbuat untuk menghadirkan kebijakan yang lebih memperhatikan keasrian hunian/permukiman tepian sungai dengan lebih menjaga identitas dengan mengutamakan penggunaan bahan bangunan lokal nan alami. Aplikasi sistem struktur bangunan pilar/tiang yang menggunakan bahan bangunan lokal seperti kayu ulin  pada pondasi rumah panggung dan permukiman disekitarnya yang menggunakan kayu galam, dan jamban menggunakan bambu sebagai pondasi apung telah menunjukkan adaptasi alami sejauh ini sehingga penggunaan bahan bangunan lokal dengan sistem struktur tersebut tetap selaras digunakan dalam penataan lingkungan binaan khususnya ditepian sungai baik untuk  situasi masa kini dan masa mendatang sebagai bentuk perwujudan fisik yang kontekstual dengan pendekatan desain yang ekologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar